Definisi
Apendisitis adalah kondisi di mana infeksi terjadi di umbai cacing, dalam kasus ringan dapat sembuh tanpa perawatan, tetapi banyak kasus memerlukan laparotomi dengan penyingkiran umbai cacing yang terinfeksi. Bila tidak terawat, angka kematian cukup tinggi, dikarenakan oleh peritonitis dan shock ketika umbai cacing yang terinfeksi hancur (1).
Sebenarnya tubuh juga melakukan usaha pertahanan untuk membatasi proses peradangan ini. Caranya adalah dengan menutup apendiks dengan omentum dan usus halus, sehingga terbentuk massa periapendikuler yang secara salah dikenal dengan istilah infiltrat apendiks. Di dalamnya dapat terjadi nekrosis jaringan berupa abses yang dapat mengalami perforasi. Namun, jika tidak terbentuk abses, apendisitis akan sembuh dan massa periapendikuler akan menjadi tenang dan selanjutnya akan mengurai diri secara lambat (2).
Apendisitis infiltrate adalah proses radang apendiks yang penyebarannya dapat dibatasi oleh omentum dan usus-usus dan peritoneum disekitarnya sehingga membentuk massa (appendiceal mass) (3).
Anatomi
Apendiks merupakan suatu organ limfoid seperti tonsil, payer patch ( analog dengan Bursa Fabricus ) membentuk produk immunoglobulin, berbentuk tabung, panjangnya kira-kira 10cm ( kisaran 3-15cm ) dengan diameter 0,5-1cm dan berpangkal di sekum. Lumennya sempit di bagian proksimal dan melebar dibagian distal. Basis appendiks terletak di bagian postero medial caecum, di bawah katup ileocaecal. Ketiga taenia caecum bertemu pada basis apendiks (2).
Apendiks verviformis disangga oleh mesoapendiks ( mesenteriolum ) yang bergabung dengan mesenterium usus halus pada daerah ileum terminale. Mesenteriolum berisi a.Apendikularis ( cabang a.ileocolica). orificiumnya terletak 2,5cm dari katup ileocecal. Mesoapendiknya merupakan jaringan lemak yang mempunyai pembuluh appendiceal dan terkadang juga memiliki limfonodi kecil (2).
Struktur apendiks mirip dengan usus mempunyai 4 lapisan yaitu mukosa, submukosa, muskularis eksterna/propria ( otot longitudinal dan sirkuker ) dan serosa. Apendiks mungkin tidak terlihat karena adanya membran Jackson yang merupakan lapisan peritoneum yang menyebar dari bagian lateral abdomen ke ileum terminal, menutup caecum dan apendiks. Lapisan submukosa terdiri dari jaringan ikat kendor dan jaringan elastik membentuk jaringan saraf, pembuluh darah dan lymphe. Antara mukosa dan submukosa terdapat lymphonodes. Mukosa terdiri dari satu lapis columnar epithelium dan terdiri dari kantong yang disebut crypta lieberkuhn. Dinding luar ( outer longitudinal muscle ) dilapisi oleh pertemuan ketiga taenia colli pada pertemuan caecum dan apendiks taenia anterior digunakan sebagai pegangan untuk mencari apendiks (2).
Pada bayi, apendiks berbentuk kerucut, lebar pada pangkalnya dan menyempit kearah ujungnya. Keadaan ini mungkin menjadi sebab rendahnya kasus insiden apendisitis pada usia tersebut. Pada 65% kasus, apendiks terletak intraperitoneal. Kedudukan itu memungkinkan apendiks bergerak dan ruang geraknya bergantung pada panjang mesoapendiks penggantungnya. Pada kasus selebihnya, apendiks terletak retroperitoneal, yaitu di belakang sekum, di belakang kolon asendens, atau ditepi lateral kolon asendens (2).
Persarafan parasimpatis berasal dari cabang n.vagus yang mengikuti a.mesenterika superior dan a.apendikularis, sedangkan persarafan simpatis berasal dari n.torkalis. Oleh karena itu, nyeri visceral pada apendisitis bermula disekitar umbilikus. Pendarahan apendiks berasal dari a.apendikularis yang merupakan arteri tanpa kolateral. Jika arteri ini tersumbat, misalnya karena trombosis pada infeksi, apendiks akan mengalami gangrene (2).
Fisiologi
Apendiks menghasilkan lendir 1-2ml per hari. Lendir di muara apendiks tampaknya berperan pada patogenesis apendisitis. Imunoglobulin sekretoar yang dihasilkan oleh GALT ( Gut associated Lymphoid tissue ) yang terdapat di sepanjang saluran cerna termasuk apendiks, ialah IgA. Imunoglobulin ini sangat efektif sebagai pelindung terhadap infeksi. Namun demikian, pengangkatan apendiks tidak mempengaruhi sistem imun tubuh karena jumlah jaringan limfe disini kecil sekali jika dibandingkan dengan jumlahnya di saluran cerna dan seluruh tubuh (2).
Jaringan lymphoid pertama kali muncul pada apendiks sekitar 2 minggu setelah lahir. Jumlahnya meningkat selama masa pubertas, dan menetap saat dewasa dan kemudian berkurang mengikuti umur. Setelah usia 60 tahun, tidak ada jaringan lymphoid lagi di apendiks dan terjadi penghancuran lumen apendiks komplit (2).
Etiologi
Apendisitis akut merupakan infeksi bakteria. Berbagai hal berperan sebagai faktor pencetusnya. Sumbatan lumen apendiks merupakan faktor yang diajukan sebagai faktor pencetus disamping hiperplasia jaringan limf, fekalit, tumor apendiks, dan cacing askaris terdapat pula menyebabkan sumbatan. Penyebab lain yang diduga dapat menimbulkan apendisitis ialah erosi mukosa apendiks karena parasit seperti E.histolyca(2).
Patologi
Patologi apendisitis berawal di jaringan mukosa dan kemudian menyebar ke seluruh lapisan dinding apendiks. Jaringan mukosa pada apendiks menghasilkan mukus (lendir) setiap harinya. Terjadinya obstruksi menyebabkan pengaliran mukus dari lumen apendiks ke sekum menjadi terhambat. Makin lama mukus makin bertambah banyak dan kemudian terbentuklah bendungan mukus di dalam lumen. Namun, karena keterbatasan elastisitas dinding apendiks, sehingga hal tersebut menyebabkan terjadinya peningkatan tekanan intralumen. Tekanan yang meningkat tersebut akan menyebabkan terhambatnya aliran limfe, sehingga mengakibatkan timbulnya edema, diapedesis bakteri, dan ulserasi mukosa. Pada saat inilah terjadi apendisitis akut fokal yang ditandai oleh nyeri di daerah epigastrium di sekitar umbilikus (4).
Jika sekresi mukus terus berlanjut, tekanan intralumen akan terus meningkat. Hal ini akan menyebabkan terjadinya obstruksi vena, edema bertambah, dan bakteri akan menembus dinding apendiks. Peradangan yang timbul pun semakin meluas dan mengenai peritoneum setempat, sehingga menimbulkan nyeri di daerah perut kanan bawah. Keadaan ini disebut dengan apendisitis supuratif akut (4).
Bila kemudian aliran arteri terganggu, maka akan terjadi infark dinding apendiks yang disusul dengan terjadinya gangren. Keadaan ini disebut dengan apendisitis ganggrenosa. Jika dinding apendiks yang telah mengalami ganggren ini pecah, itu berarti apendisitis berada dalam keadaan perforasi (4).
Sebenarnya tubuh juga melakukan usaha pertahanan untuk membatasi proses peradangan ini. Caranya adalah dengan menutup apendiks dengan omentum, dan usus halus, sehingga terbentuk massa periapendikuler yang secara salah dikenal dengan istilah infiltrat apendiks. Di dalamnya dapat terjadi nekrosis jaringan berupa abses yang dapat mengalami perforasi. Namun, jika tidak terbentuk abses, apendisitis akan sembuh dan massa periapendikuler akan menjadi tenang dan selanjutnya akan mengurai diri secara lambat (4).
Pada anak-anak, dengan omentum yang lebih pendek, apendiks yang lebih panjang, dan dinding apendiks yang lebih tipis, serta daya tahan tubuh yang masih kurang, memudahkan terjadinya perforasi. Sedangkan pada orang tua, perforasi mudah terjadi karena adanya gangguan pembuluh darah (4).
Apendiks yang pernah meradang tidak akan sembuh sempurna, tetapi akan membentuk jaringan parut yang menyebabkan perlengketan dengan jaringan sekitarnya. Perlengketan ini dapat menimbulkan keluhan berulang di perut kanan bawah. Pada suatu ketika organ ini dapat meradang akut lagi dan dinyatakan sebagai mengalami eksaserbasi akut (4).
Manifestasi Klinis
Gejala awal yang khas, yang merupakan gejala klasik apendisitis adalah nyeri samar (nyeri tumpul) di daerah epigastrium di sekitar umbilikus atau periumbilikus. Keluhan ini biasanya disertai dengan rasa mual, bahkan terkadang muntah, dan pada umumnya nafsu makan menurun. Kemudian dalam beberapa jam, nyeri akan beralih ke kuadran kanan bawah, ke titik Mc Burney. Di titik ini nyeri terasa lebih tajam dan jelas letaknya, sehingga merupakan nyeri somatik setempat. Namun terkadang, tidak dirasakan adanya nyeri di daerah epigastrium, tetapi terdapat konstipasi sehingga penderita merasa memerlukan obat pencahar. Tindakan ini dianggap berbahaya karena bisa mempermudah terjadinya perforasi. Terkadang apendisitis juga disertai dengan demam derajat rendah sekitar 37,5 -38,5 derajat celcius.Riwayat klasik apendisitis akut, yang diikuti dengan adanya massa yang nyeri di regio iliaka kanan dan disertai demam, mengarahkan diagnosis ke massa atau abses periapendikuler.
Selain gejala klasik, ada beberapa gejala lain yang dapat timbul sebagai akibat dari apendisitis. Timbulnya gejala ini bergantung pada letak apendiks ketika meradang. Berikut gejala yang timbul tersebut.
1. Bila letak apendiks retrosekal retroperitoneal, yaitu di belakang sekum (terlindung oleh sekum), tanda nyeri perut kanan bawah tidak begitu jelas dan tidak ada tanda rangsangan peritoneal. Rasa nyeri lebih kearah perut kanan atau nyeri timbul pada saat melakukan gerakan seperti berjalan, bernapas dalam, batuk, dan mengedan. Nyeri ini timbul karena adanya kontraksi m.psoas mayor yang menegang dari dorsal.
2. Bila apendiks terletak di rongga pelvis
- Bila apendiks terletak di dekat atau menempel pada rektum, akan timbul gejala dan rangsangan sigmoid atau rektum, sehingga peristalsis meningkat, pengosongan rektum akan menjadi lebih cepat dan berulang-ulang (diare).
- Bila apendiks terletak di dekat atau menempel pada kandung kemih, dapat terjadi peningkatan frekuensi kemih, karena rangsangannya dindingnya.
Gejala apendisitis terkadang tidak jelas dan tidak khas, sehingga sulit dilakukan diagnosis, dan akibatnya apendisitis tidak ditangani tepat pada waktunya, sehingga biasanya baru diketahui setelah terjadi perforasi. Berikut beberapa keadaan dimana gejala apendisitis tidak jelas dan tidak khas (2,4).
Tanda dari apendisitis ditentukan oleh posisi dari apendiks dan apakah apendiks mengalami ruptur. Tanda – tanda vital memperlihatkan takikardi ringan atau kenaikan temperatur 10C. Posisi yang nyaman bagi pasien adalah posisi seperti fetus atau terlentang dengan tungkai ditarik, terutama tungkai kanan. Gerakan posisional menyebabkan nyeri. Apendiks anterior memberikan nyeri tekan maksimum, kekakuan otot ( defense muskular ), dan nyeri lepas pada titik McBurney ( sepertiga jarak dari spina iliaka anterior superior ke umbilikus ). Hiperestesa kutaneus mungkin dapat ditemukan dini dalam daerah yang dipasok oleh saraf spinalis kanan T10, T11, T12. Tanda Rovsing ( nyeri kuadran kanan bawah dengan palpasi dalam kuadran kiri bawah ) menandakan iritasi peritoneum. Tanda psoas ( dengan perlahan paha kanan pasien diekstensikan pada saat berbaring pada sisi kiri ) memperlihatkan inflamasi di dekatnya pada saat meregangkan otot iliopsoas. Tanda obturator ( rotasi interna pasif dari paha kanan yang difleksikan dengan pasien dalam posisi terlentang ) menandakan iritasi di dekat obturator internus. Apendisitis rektosekal dapat timbul dengan nyeri hebat. Apendisitis pelvikum dapat memberikan nyeri pada pemeriksaan rektum, dengan penakanan pada kantong Douglas (1).
Diagnosis (1)
Anamnesa
Gejala apendisitis ditegakkan dengan anamnese, ada 4 hal yang penting adalah :
a. Nyeri mula – mula di epigastrium ( nyeri viseral ) yang beberapa waktu kemudian menajalar ke perut kanan bawah
b. Muntah oleh karena nyeri viseral
c. Panas ( karena kuman yang menetap di dinding usus )
d. Gejala lain adalah badan lemah dan kurang nafsu makan, penderita nampak sakit, menghindarkan pergerakan, di perut terasa nyeri
2. Pemeriksaan Radiologi
Pemeriksaan radiologi pada foto tidak dapat menolong untuk menegakkan diagnosa apendisitis akut, kecuali bila terjadi peritonitis, tapi kadang kala dapat ditemukan gambaran sebagai berikut :
a. Adanya sedikit fluid level disebabkan karena adanya udara dan cairan.
b. Kadang ada fecolit ( sumbatan ), pada keadaan perforasi ditemukan adanya udara bebas dalam diafragma.
3. Pemeriksaan Laboratorium
- Pemeriksaan darah : leukosit ringan umumnya pada apendisitis sederhana lebih dari 13.000/mm3 umumnya pada apendisitis perforasi. Tidak adanya leukositosis tidak menyingkirkan apendistis
- b. Pemeriksaan urin : sediment dapat normal atau terdapat leukosit dan eritrosit lebih dari normal bila apendiks yang meradang menempel pada ureter atau vesika. Pemeriksaan leukosit meningkat sebagai respon fisiologis untuk melindungi tubuh terhadap mikroorganisme yang menyerang. Urine rutin penting untuk melihat apa ada infeksi pada ginjal.
Penatalaksanaan (3)
Pada periapendikular infiltrat, dilarang keras membuka perut, tindakan bedah apabila dilakukan akan lebih sulit dan perdarahan lebih banyak, lebih-lebih bila massa apendiks telah terbentuk lebih dari satu minggu sejak serangan sakit perut. Pembedahan dilakukan segera bila dalam perawatan terjadi abses dengan atau pun tanpa peritonitis umum.
Terapi sementara untuk 8-12 minggu adalah konservatif saja. Pada anak kecil, wanita hamil, dan penderita usia lanjut, jika secara konservatif tidak membaik atau berkembang menjadi abses, dianjurkan operasi secepatnya.
Bila pada waktu membuka perut terdapat periapendikular infiltrat maka luka operasi ditutup lagi, apendiks dibiarkan saja. Terapi konservatif pada periapendikular infiltrat :
– Total bed rest dengan posisi fawler agar pus terkumpul di cavum douglassi
– Diet lunak bubur saring
– Antibiotika parenteral dalam dosis tinggi, antibiotic kombinasi yang aktif terhadap kuman aerob dan anaerob. Setelah keadaan tenang, yaitu sekitar 6-8 minggu kemudian, dilakukan apendiktomi. Kalau sudah terjadi abses, dianjurkan drainase saja dan apendiktomi dikerjakan setelah 6-8 minggu kemudian. Jika ternyata tidak ada keluhan atau gejala apapun, dan pemeriksaan jasmani dan laboratorium tidak menunjukkan tanda radang atau abses, dapat dipertimbangkan membatalakan tindakan bedah.
– Analgesik diberikan hanya kalau perlu saja. Observasi suhu dan nadi. Biasanya 48 jam gejala akan mereda. Bila gejala menghebat, tandanya terjadi perforasi maka harus dipertimbangkan appendiktomy. Batas dari massa hendaknya diberi tanda (demografi) setiap hari. Biasanya pada hari ke5-7 massa mulai mengecil dan terlokalisir. Bila massa tidak juga mengecil, tandanya telah terbentuk abses dan massa harus segera dibuka dan didrainase.